MULTICULTURAL
A. PENGERTIAN MULTIKULTURALISME
Akar kata multkulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikultiuralisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), isme (lairan atau paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung penagkuan akan martabat manusia yang hibup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya yang unik.
Dengan demikian, setiap indifidu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (Politics of Reccognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan.
Penegertian para ahli tentang kebudayaan harus di persamamakan atau, setidak-tidaknya, tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh oleh lainnya. Kaarena multikulturalisme itu adalah sebuah idiologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajad manusia dan kemanusiaanya, maka kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.
Sejarah etimologi multikulturalisme belum berumur lama. Menurut
Longer Oxford Dictionary sebuah istilah yang baru banyak digunakan oleh kebanyakan orang pada tahun 1950-an di Kanada. Kamus tersebut mensitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Kanada sebagai masyarakat “multi-cultural dan ulti-lingual”. Istilah multikulturalsm sendiri pertama kali digunakan dalam laporan pemerintah kanada yang di publikasikan pada tahun 1965 bertajuk “Preminary Report Of The Royal Commision Of Bilingualism and Biculturalism”.
Sebagai sebuah terminology baru “multikulturalisme” masih belum banyak dipahami orang. Saya membagi pemahaman mengenai mengenai multikulturalisme menjadi beberapa tingkatan.Pertam a, pemahaman popular. Orang kebayakan memahamifenomena multikulturalisme semakin mudah ditemukannya restoran Cina, Hoka-hoka Bento, Salero Bagindo, Mc Donald, Jet Kun Do, Shaolin, kursus Yoga sampai boutique Versace di satu wlayah yang sebelumnya relative homogen. Kedua, pemahaman politis. Kalangan politisi memahami multikulturalisme semakin majemuknya masyarakat secara cultural yang menimbulkan berbagai persoalan social yang menuntut kebijakan- kebijakan tertentu (pengetatan imigrasi, pendataan, sampai program asimilasi).Ketiga, pemahaman akademis. Pemahaman akademis multikulturalisme mendasarkan diri pada perkembanga filsafat postmodernisme dan Cultural Studies, yang menekankan prinsip paralogisme di atas monologisme, kemajemukan diatas kesatuan. Isu-isu multikulturalisme yang menjadi perbincangan akademis antara lain; konsep kebudayaan, relasi budaya dan politik, hak minoritas, kritik liberalisme, toleransi dan solidaritas, dan lain sebagainya
B. AKAR SEJARAH MULTIKULTURALISME
Secara histories sejak jatuhnya presiden Soeharto dari kekuasaannya yang kemudian disebut sebagai “Era Reformasi”, kebudayaabn Indonesia cenderung mengalami dis integrasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra, bahwa krisis moneter, ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997, pada gilirannya mengakibatakan terjadinya krisis sosio-cultural didalam kehidupan bangsa dan negara. Jalinan tenun masyarakat (fabric Society) tercabik-cabik akibat krisis yang melanda masyarakat.
Krisis social budaya yang meluas itu dapat disakasikan dalam berbagai bentuk disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat kita.,misalnya: disintegrasi social politik yang bersumber dari euphoria kebebasan yang nyaris kebablasan; lenyapnya kesabaran social (social temper) dalam menghadapi realitas social yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan berbagai macam tindak kekerasan dan anarkhi; merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hokum, etika, moral, dan kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya; berlanjutnya konflik da kekerasan yang bersumber atau sedikitnya bernuansa politis, etnis dan agama seperti terjadi di Aceh, Kalimantan Barat, dan Tengah, Maluku Sulawesi tengah, dan lain-lain.
Disorintasi, dislokasi atau krisis social budaya dikalangan masyarakat kita semakin merebah seiring dengan kian meningkatnya penetrasi dan ekspansi budaya barat khususnya Amerika sebagai akibat proses globalisasi yang terus tidak terbendung. Berbagai ekspansi social budaya yang sebenarnya ”alien” (asing), yang tidak memiliki basis dan preseden kulturalnya dalam masyarakat kita, semakin menyebar dalam masyarakat kita sehingga memunculkan kecenderungan-kecenderungan “gaya hidup” baru yang tidak selalu sesuai dengan dan kondusif bagi kehidupan social budaya masyarakat dan bangsa.
Hal ini bisa dilihat misalnya, dari semakin merebaknya budaya- budaya Mc Donald, juga makna instant lainnya dan, dengan demikian, budaya serba instant; meluasnya budaya telenofela yang menyebarkan permisivisme, kekerasan, dan hedonisme; membawanya MTV Asia, falentine’s day, dan kini juga pup night dikalanga remaja. Meminjam ungkapan Edward Said, gejala ini tidak lain daripada ”cultural imperialism” baru, yang menggantikan emperialisme klasik yang terkandung dalam “orientalisme”.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Salah satu hal penting yang mengiring gelombang demokratiasi adalah munculnya wacana multikulturalisme. Multikulturalisme pada intinya adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasapun ataupun agama, menurut Gurpeet Mahajan konsep multikulturalisme sebenarnya relative baru, menurutnya sekitar 1950-an gerakun multikulralisme muncul pertama kali di Kanada dan Australi kemudian di Amerika Seriakat, Jerman, dan lainnya.
Multikulturalisme memberikan penegasan, bahwa dengan segala perbedaannya diakui dan sama diruang public. Multikulturalisme menjadi semacam respon kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas yang berbeda saja saja tidak cukup, karena yang- pertama dan yang terpenting adalah komunitas tersebut diperlakukan sama oleh warga negara maupun Negara.
Komentar
Posting Komentar