Catatan ini aku tuliskan di tengah kesibukan harianku melakukan bahts ilmi (penelitian ilmiah) terhadap kontruksi Tafsir Durrul Mantsur karya al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi.
Ada beberapa catatan yang kujadikan pelajaran hasil keisenganku selama dua bulan terakhir ini ketika memperhatikan satu persatu curriculum vitae para ulama ahli hadits yang melakukan transmisi secara bersambung dari generasi ke generasi.
Sebagian besar dari kita pasti tidak asing dengan nama-nama kaliber semacam al-imam al-Bukhori, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Daud, an-Nasa~i, dan Ibnu Majah. Enam tokoh puncak dalam ilmu hadits yang buku-buku kumpulan hadits adikarya mereka adalah referensi utama sumber hukum dalam Islam setelah Kitab suci al-Qur'an.
Setelah itu mungkin kita melewati nama-nama yang terkadang menyelingi mereka di buku-buku; semacam At-Thabarani, Ad-Daroquthni, Ad-Dailami, Ahmad bin Hambal, ad-Darimi, al-Baihaqi dan atau An-Naisaburi.
Setelah itu kita sesekali akan menemukan nama-nama asing yang tak kita hafal dengan baik atau malah yang belum pernah kita ketahui semisal Ibnu Taghri Bardi, Mughlatoy, Mundal, Ibnu Lal, Elkiya Hirosi, Ibnu Marduyah, Ibnu Hammuyah, Al-Asydaq, Abdul A'la dan seterusnya. Padahal di sana, Guru-guru ilmu hadits yang mentransfer hadits-hadits Nabi melalui enam tokoh yang aku sebut di atas, secara total hampir ada 10.000 nama.
Sedikit aku ungkapkan di sini, dalam disiplin ilmu hadits, untuk menentukan apakah hadits itu berstatus shohih atau dho'if, kita diharuskan mengerti biografi umum para perawinya satu persatu, serta apakah mereka benar-benar bertemu muka atau tidak.
Tentu saja saat berhadapan dengan hadits-hadits yang asing, pendalam ilmu hadits terkadang menemukan kesulitan sebab kekuranglengkapan data, atau curriculum vitae dari para tokoh yang hidup lebih dari 1200 tahun yang lalu.
Lepas daripada semua itu, sekaligus kembali pada topik, yaitu catatan apa yang aku dapat, adalah background dari beberapa biografi ulama' hadits yang aku pelajari.
Tak sedikit aku temukan kejutan dengan mata kepala sendiri, sebab selama ini aku hanya mendengar; yaitu bahwa tidak keseluruhan dari para tokoh itu berideologi mayoritas, ahlussunnah wal jamaah. Dengan kata lain berideologi menyimpang.
Ada tokoh ilmu hadits yang ternyata dia adalah dedengkot Mu'tazilah, atau dalam terminologi masa kini adalah tokoh liberal.
Ada juga yang berideologi mujassimah, sekaligus nashibah. Keyakinan tajsim sendiri adalah beranggapan bahwa Allah berfisik (Maha Suci Allah dari hal itu), sementara nashibah adalah ketidaksukaan secara ekstrem kepada keluarga Nabi. Dalam term masa kini, adalah mereka yang tergabung dalam gerbong yang menamakan diri Salafi, metamorfosa Wahabi. Cikal bakal muslim radikal.
Atau tokoh beraliran Syiah kelas berat yang kerap disebut Rafidhah, kelompok syiah hard yang mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Aisyah dan sebagian besar sahabat.
Ada juga tokoh yang berpaham Murji~ah, atau aliran kebatinan. Dan lain sebagainya.
Lantas, apa tidak berpengaruh pada validitas sebuah hadits? Tentu saja sebagian berpengaruh, jika mereka tidak lolos kualifakasi yang dikriteriakan para ulama' hadits secara konsensus yang disepakati bersama dari berbagai generasi. Yaitu semisal mereka yang berideologi menyimpang itu mempropagandakan ideologinya.
Adapun jika tidak mempropagandakan atau menyebarkan pemikirannya, dengan kata lain ideologi itu hanya untuk pribadinya saja, maka periwayatan dan transferring hadist dari tokoh-tokoh itu tetap diterima.
Pelajaran penting dari catatan ini adalah, ketiadaan fanatisme berlebihan dari para ahli hadits itu terhadap ideologi masing-masing sehingga mereka masih tetap bersatu dan tidak berselisih yang tidak perlu meski berbeda paham sekaligus bertanggungjawab atas keotentikan hadits yang disampaikannya. Dari sini, dari kekompakan itu, dan dari amanah ini, hadits-hadits Nabi sampai pada kita dengan selamat dan steril.
Andai mereka berpecah belah atau tidak amanah sebab ideologi yang dianutnya, maka kita belum tentu bisa menikmati buku-buku hadits fenomenal semacam Shahih Bukhari dan seterusnya yang benar-benar objektif dengan tingkat kevalidan yang tidak teragukan lagi.
Persatuan dan tanggungjawab seperti ini, meski dengan berbagai macam perbedaan ideologi yang saat ini sangat kita butuhkan. Sebab tentu saja sebuah keanehan jika sebagian di antara kita berteriak-teriak dan menyeru untuk mengikut salaf sholih (di antaranya adalah 10.000 tokoh itu), mengikuti jejak mereka, tetapi saat yang sama justru tidak mengikuti sikap mereka. Hanya teori di mulut.
Dengan kata lain mereka tidak berpecah belah, tidak saling menghujat antar golongan, tetapi kita masih sibuk menghujat dan mencela orang yang tidak sepaham dengan kita. Memang pasti kita beranggapan bahwa orang yang tidak sepaham dengan kita adalah salah, tetapi bukan lantas mengoloknya, mencelanya, terlebih menyesatkan, membid'ahkan, hingga mengkafirkan lantas menghalalkan darahnya.
Sebab selama seseorang itu menyatakan diri tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah, dan dia sholat menghadap kiblat; maka dia adalah saudara muslim seiman dan seagama dengan kita apapun jenis ideologi yang dianutnya. Garis besar sekaligus red line inilah kaidah yang harus kita pegang dalam menyikapi lain golongan.
Pada akhirnya, seseorang jika semakin luas cakrawala keilmuannya, wawasannya; maka hatinya akan semakin lapang dan memaklumi setiap perbedaan yang terjadi. Dan di sinilah terlihat kebijakan dan kedewasaan seseorang.
Akhir catatan, kita masih perlu belajar banyak dalam menyikapi hidup ini dan tidak merasa paling benar sendiri. Di atas langit masih ada langit. Dalam bahasa al-Qur'an, wa fauqo kulli dzi ilmin alim, wallahu a'lam
by: Awy' Ameer Qolawun-dua
Ada beberapa catatan yang kujadikan pelajaran hasil keisenganku selama dua bulan terakhir ini ketika memperhatikan satu persatu curriculum vitae para ulama ahli hadits yang melakukan transmisi secara bersambung dari generasi ke generasi.
Sebagian besar dari kita pasti tidak asing dengan nama-nama kaliber semacam al-imam al-Bukhori, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Daud, an-Nasa~i, dan Ibnu Majah. Enam tokoh puncak dalam ilmu hadits yang buku-buku kumpulan hadits adikarya mereka adalah referensi utama sumber hukum dalam Islam setelah Kitab suci al-Qur'an.
Setelah itu mungkin kita melewati nama-nama yang terkadang menyelingi mereka di buku-buku; semacam At-Thabarani, Ad-Daroquthni, Ad-Dailami, Ahmad bin Hambal, ad-Darimi, al-Baihaqi dan atau An-Naisaburi.
Setelah itu kita sesekali akan menemukan nama-nama asing yang tak kita hafal dengan baik atau malah yang belum pernah kita ketahui semisal Ibnu Taghri Bardi, Mughlatoy, Mundal, Ibnu Lal, Elkiya Hirosi, Ibnu Marduyah, Ibnu Hammuyah, Al-Asydaq, Abdul A'la dan seterusnya. Padahal di sana, Guru-guru ilmu hadits yang mentransfer hadits-hadits Nabi melalui enam tokoh yang aku sebut di atas, secara total hampir ada 10.000 nama.
Sedikit aku ungkapkan di sini, dalam disiplin ilmu hadits, untuk menentukan apakah hadits itu berstatus shohih atau dho'if, kita diharuskan mengerti biografi umum para perawinya satu persatu, serta apakah mereka benar-benar bertemu muka atau tidak.
Tentu saja saat berhadapan dengan hadits-hadits yang asing, pendalam ilmu hadits terkadang menemukan kesulitan sebab kekuranglengkapan data, atau curriculum vitae dari para tokoh yang hidup lebih dari 1200 tahun yang lalu.
Lepas daripada semua itu, sekaligus kembali pada topik, yaitu catatan apa yang aku dapat, adalah background dari beberapa biografi ulama' hadits yang aku pelajari.
Tak sedikit aku temukan kejutan dengan mata kepala sendiri, sebab selama ini aku hanya mendengar; yaitu bahwa tidak keseluruhan dari para tokoh itu berideologi mayoritas, ahlussunnah wal jamaah. Dengan kata lain berideologi menyimpang.
Ada tokoh ilmu hadits yang ternyata dia adalah dedengkot Mu'tazilah, atau dalam terminologi masa kini adalah tokoh liberal.
Ada juga yang berideologi mujassimah, sekaligus nashibah. Keyakinan tajsim sendiri adalah beranggapan bahwa Allah berfisik (Maha Suci Allah dari hal itu), sementara nashibah adalah ketidaksukaan secara ekstrem kepada keluarga Nabi. Dalam term masa kini, adalah mereka yang tergabung dalam gerbong yang menamakan diri Salafi, metamorfosa Wahabi. Cikal bakal muslim radikal.
Atau tokoh beraliran Syiah kelas berat yang kerap disebut Rafidhah, kelompok syiah hard yang mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Aisyah dan sebagian besar sahabat.
Ada juga tokoh yang berpaham Murji~ah, atau aliran kebatinan. Dan lain sebagainya.
Lantas, apa tidak berpengaruh pada validitas sebuah hadits? Tentu saja sebagian berpengaruh, jika mereka tidak lolos kualifakasi yang dikriteriakan para ulama' hadits secara konsensus yang disepakati bersama dari berbagai generasi. Yaitu semisal mereka yang berideologi menyimpang itu mempropagandakan ideologinya.
Adapun jika tidak mempropagandakan atau menyebarkan pemikirannya, dengan kata lain ideologi itu hanya untuk pribadinya saja, maka periwayatan dan transferring hadist dari tokoh-tokoh itu tetap diterima.
Pelajaran penting dari catatan ini adalah, ketiadaan fanatisme berlebihan dari para ahli hadits itu terhadap ideologi masing-masing sehingga mereka masih tetap bersatu dan tidak berselisih yang tidak perlu meski berbeda paham sekaligus bertanggungjawab atas keotentikan hadits yang disampaikannya. Dari sini, dari kekompakan itu, dan dari amanah ini, hadits-hadits Nabi sampai pada kita dengan selamat dan steril.
Andai mereka berpecah belah atau tidak amanah sebab ideologi yang dianutnya, maka kita belum tentu bisa menikmati buku-buku hadits fenomenal semacam Shahih Bukhari dan seterusnya yang benar-benar objektif dengan tingkat kevalidan yang tidak teragukan lagi.
Persatuan dan tanggungjawab seperti ini, meski dengan berbagai macam perbedaan ideologi yang saat ini sangat kita butuhkan. Sebab tentu saja sebuah keanehan jika sebagian di antara kita berteriak-teriak dan menyeru untuk mengikut salaf sholih (di antaranya adalah 10.000 tokoh itu), mengikuti jejak mereka, tetapi saat yang sama justru tidak mengikuti sikap mereka. Hanya teori di mulut.
Dengan kata lain mereka tidak berpecah belah, tidak saling menghujat antar golongan, tetapi kita masih sibuk menghujat dan mencela orang yang tidak sepaham dengan kita. Memang pasti kita beranggapan bahwa orang yang tidak sepaham dengan kita adalah salah, tetapi bukan lantas mengoloknya, mencelanya, terlebih menyesatkan, membid'ahkan, hingga mengkafirkan lantas menghalalkan darahnya.
Sebab selama seseorang itu menyatakan diri tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah, dan dia sholat menghadap kiblat; maka dia adalah saudara muslim seiman dan seagama dengan kita apapun jenis ideologi yang dianutnya. Garis besar sekaligus red line inilah kaidah yang harus kita pegang dalam menyikapi lain golongan.
Pada akhirnya, seseorang jika semakin luas cakrawala keilmuannya, wawasannya; maka hatinya akan semakin lapang dan memaklumi setiap perbedaan yang terjadi. Dan di sinilah terlihat kebijakan dan kedewasaan seseorang.
Akhir catatan, kita masih perlu belajar banyak dalam menyikapi hidup ini dan tidak merasa paling benar sendiri. Di atas langit masih ada langit. Dalam bahasa al-Qur'an, wa fauqo kulli dzi ilmin alim, wallahu a'lam
by: Awy' Ameer Qolawun-dua
Komentar
Posting Komentar