Langsung ke konten utama

Menjadi Wanita Karir, Perlukah?!

Islam memandang, baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi masing-masing. Laki-laki diberi kekuatan pikiran dan wanita diberi kepekaan rasa. Keduanya sama-sama memiliki tanggung jawab yang saling melengkapi. Rasulullah SAW bersabda:
Suami pemimpin keluarganya dan ia akan ditanya kepemimpinannya, seorang istri pemimpin dalam rumah tangga dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. al-Bukhari).
Seorang wanita dituntut untuk melaksanakan semua kewajiban rumah tangga dan mengurusi anak-anak dengan sebaik-baiknya. Semua itu memerlukan waktu, energi, dan perhatian ekstra. Di samping itu, ia juga dituntut menjadi seorang istri yang baik di mata masyarakat. Wanita juga masih dituntut untuk menjaga penampilannya, sehingga tidak menghilangkan sisi kewanitaan. Hak-hak wanita tidak terletak pada kebebasan untuk berkarier, tetapi haknya yang paling mendasar adalah hidup dengan karakter alaminya. Karier mengakibatkan timbulnya sekat yang memisahkan istri dari suaminya, dan mempengaruhi kebersamaan mereka berdua untuk membicarakan hal-hal yang dapat mempererat hubungan dan menambah keharmonisan. Fenomena wanita bekerja di luar rumah rentan menimbulkan kekacauan dalam keluarga. Jika tidak sangat terpaksa, wanita yang bekerja di luar rumah sungguh menyiksa dan merusak konsentrasinya dalam mengurusi keluarga. Sebab tak jarang wanita yang telah memilih profesi menjadi wanita karier telah gagal menjadi ibu rumah tangga.
Terkait dengan hal ini, Marry De Clark, istri mantan Presiden Afrika Selatan mengatakan, “Sungguh, tempat yang paling cocok bagi wanita adalah rumah tempat tinggalnya.” Seorang pakar berkebangsaan Inggris yang bernama Samuel Smiles mengatakan. “Sungguh, undang-undang yang memperbolehkan para wanita bekerja di pabrik-pabrik dan kantor-kantor, meski dapat meningkatkan hasil produksi, namun akan berakibat fatal bagi kelangsungan rumah tangga. Sebab peraturan itu telah mengintervensi urusan rumah, merobohkan pilar-pilar keluarga, mencabik-cabik hubungan sosial, merampas istri dari suaminya, juga merebut anak-anak dari kerabat mereka, sehingga hal itu hanya akan merusak moralitas kaum wanita.” Seorang pakar kedokteran industri menegaskan, “Pekerjaan dapat melemahkan sifat kewanitaan, bahkan pekerjaan yang ringan sekalipun. Profesi yang hanya menuntut kerja otak dan tanggungjawab juga mempunyai efek yang sama. Keletihan psikis yang dialami wanita karir di tengah-tengah pekerjaannya jelas berbeda dengan suasana kehidupan keluargnya. Pekerjaan juga dapat berdampak pada hasrat seksual wanita.” Dari pernyataan beberapa tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum menjadi wanita karir bisa memberikan dampak negatif pada pribadi seorang wanita, keluarga, dan masyarakat. Baik dari sisi pengaruhnya terhadap kesehatan fisik, psikisnya, maupun dampak negatif terhadap moralitas, ketenangan, dan kebahagiaan keluarga. Untuk itu, sebaiknya wanita tidak bekerja kecuali dalam keadaaan sangat terpaksa. Itupun harus dengan beberapa pertimbangan dan batas-batas tertentu.
Kaum wanita dalam Islam memang tidak memiliki banyak peluang dan kesempatan untuk tampil dipermukaan dan hadir menyapa publik sebagaimana lazimnya kaum laki-laki. Dalam urusan ekonomi kaum wanita tidak dituntut keluar rumah untuk mencari nafkah, dalam masalah ibadah, kaum perempuan tidak dianjurkan salat jum’at, dan hari raya, mereka tidak boleh azan apabila di sampingnya ada laki-laki yang bukan mahramnya apalagi sampai bernyanyi. Mereka juga tidak diwajibkan berjihad dan haji walaupun sudah menjadi kewajibannya, apabila tidak disertai dengan mahramnya apalagi keluar rumah hanya sekadar untuk mencari  ekonomi atau profesi.
Kendati demikian bukan berarti perempuan tidak memiliki akses terbuka untuk memanfaatkan potensinya, bahkan perempuan merupakan ikon terpenting dan jendela kehidupan manusia. Kaum wanita adalah pahlawan di balik layar, dari rahim merekalah generasi bangsa ini dilahirkan, hanya saja kaum perempuan memiliki ruang yang tidak sama dengan kaum laki-laki. Perbedaan ini dimaksudkan agar wanita berada dalam ruang yang selaras dengan karakternya. Bukankah keadilan itu tidak harus sama?.
 Dalam Islam, kemuliaan tidak bisa dilihat dari sisi status atau profesi seseorang, akantetapi barometer kemuliaan terletak pada ketakwaan dan sejuah mana ia bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Contoh konkretnya, Dewi Masyitah hanyalah tukang sisir putri raja, namun beliau berhasil memiliki derajat yang mulia di sisi Allah SWT, namanya harum sepanjang masa, mengalahkan Fir’aun yang mengklaim dirinya sebagai Tuhan. Bilal bin Rabah, juga bukanlah seorang manajer atau direktur dalam sebuah perusahaan melainkan ia hanyalah seorang hamba sahaya yang tertindas, tapi ternyata memiliki kedudukan tinggi di depan Tuhan dan Rasul-Nya.

Kapan Diperbolehkan Berkarir?
Ketika terjadi benturan antara profesi wanita sebagai wanita karir dan sebagai ibu rumah tangga, maka yang harus dilakukan oleh seorang wanita adalah mengambil langkah paling tepat yakni memprioritaskan yang paling maslahat baik bagi dirinya lebih-lebih bagi keluarganya. Dan yang paling maslahat itu adalah menunaikan tugas dan kewajiban sebagai istri yang berupa melayani suami, memberikan kebahagiaan kepadanya, mendidik anak-anaknya agar menjadi anak saleh. Alasanya, karena kemaslahatan keluarga merupakan bagian dari kemaslahatan masyarakat. Sebab, dalam kondisi apapun dan bagaimanapun kondisi sebuah masyarakat sangat bergantung pada kondisi keluarga. Jika keluarga rusak, maka masyarakat rusak, begitu juga sebaliknya. Oleh sebab itu, Islam menetapkan bahwa pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga dibebankan kepada seorang suami selaku presiden rumah tangga sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur'an:
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf." (QS. Al-Baqarah [];233). Pemenuhan kebutuhan ekonomi merupakan pekerjaan berat, sehingga apabila hal ini dibebankan kepada kaum perempuan tentu akan merasakan kesulitan serta menyebabkan tugas dan kewajiban yang lebih penting jadi terbengkalai sebagaimana kondisi yang dialami perempuan-perempuan di Negara Barat. 

Aturan-aturan dalam Berkarir
Apabila situasi dan kondisi rumah rumah tangga menuntut seorang wanita harus bekerja, maka ia harus memenuhi persyaratan sebagaimana berikut: 1. Mendapat izin dari walinya yaitu ayah dan atau suaminya. 2. Tidak bercampur dengan laki-laki, atau melakukan khalwah (berduaan) dengan laki-laki lain. 3. Tidak melakukan tabarruj (bersolek) dan menampakkan perhiasan yang dapat mengundang fitnah. 4. Tidak memakai wangi-wangian yang menyengat hidung, atau parfum yang membangkitkan birahi seseorang. 5. Tetap menutupi aurat.  
Prof. Dr.Yusuf al-Qardhawi menambahkan rambu-rambu bagi wanita yang ingin bekerja sebagai berikut: 1. Pekerjaan itu harus sah menurut hukum Islam. Karena itu, pekerjaan yang tidak sejalan dengan aturan Islam tidak diperbolehkan, misalnya bekerja sebagai penari yang membangkitkan gairah seksual, atau sebagai pelayan di sebuah restoran yang menyajikan minuman yang haram dikonsumsi semisal alkohol. 2. Jika wanita keluar rumah untuk bekerja, ia harus menjaga moralnya sebagai wanita muslim dalam berpakaian, cara berbicara, dan tingkah laku. 3. Pekerjaan tersebut tidak sampai mengganggu kewajibannya, seperti tugasnya terhadap anak-anaknya dan suaminya, yang merupakan tugas utama. 4. Ruang gerak wanita selama dalam bekerja harus tidak melanggar aturan-aturan syariat.
Dari pemaparan singkat ini, bisa dimengerti bahwa Islam tidak mengekang kaum wanita untuk meniti karir. Selama karir tersebut tidak berbenturan dengan kode etik agama dan tentunya sudah memenuhi syarat-syarat di atas, maka hal itu tidak menjadi masalah. Sayangnya, dewasa ini materi seakan menjadi prioritas utama. Mayoritas masyarakat lebih bergairah dengan tawaran-tawaran yang berbau dunia daripada tawaran pahala yang sudah dipromosikan oleh agama lewat para muballigh, dan dai. Akhirnya, semoga kita diberikan kekuatan iman.      Amin....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terjemah Mabadi' Fiqih Juz 3 (THOHAROH / BERSUCI)

Thoharoh ialah mengerjakan sesuatu yang tidak sah sholat seseorang kecuali dengan melakukan bersuci. Thoharoh itu ada dua macam yaitu: Thoharoh dari hadats dan thoharoh dari kotoran. Thoharoh dari hadats ialah bersuci dengan cara berwudlu', mandi dan tayammum (pengganti wudlu dan mandi). Thoharoh dari kotoran ialah bersuci dengan cara istinja' (sesudah buang air kecil atau besar), dan menghilangkan najis dari tubuh, pakaian dan tempat. Macam-macam benda yang dapat mensucikan itu ada empat, yaitu: air, debu, batu, dan menyamak untuk kulit binatang0. Pembagian air itu ada tiga, yaitu : 1. air suci yang dapat mensucikan, 2. air yang suci yang tidak dapat mensucikan, 3. air yang terkena najis. Air yang suci yang dapat mensucikan yaitu: semua air yang berasal dari langit atau yang bersumber dari bumi, dan tidak merubah sifat-sifatnya dengan sebab adanya benda yang dapat merubah kesucian air tersebut. seperti: air hujan, air laut, air sungai, air es dan air embun. Air yang ber

Terjemah Kitab Mabadi' Fiqih Juz 3 (SHALAT)

Shalat lima waktu: Hukum shalat lima waktu adalah fardhu ’ain atas pribadi orang mukallaf , maka siapa yang menolak kewajiban shalat lima waktu, mereka adalah orang kafir. Bagi anak-anak supaya diperintahkan setelah mencapai umur 7 tahun dan hendaklah dipukul kalau meninggalkan setelah berusia 10 tahun. Hal-hal yang menjadi syarat sahnya shalat: 1. Thaharaah (bersuci) dari kedua hadats (hadats kecil atau besar), 2.Thaharaah (bersuci) badannya, pakaian dan tempatnya shalat dari semua benda najis, 3. menutup aurat, 4. menghadap ke kiblat, 5. waktu shalat telah masuk. Waktu-waktunya shalat: 1. waktu shubuh: dimulai dari menyingsingnya fajar shadiq hingga terbitnya matahari, 2. waktu dhuhur: dimulai dari tergelincirnya matahari hingga bayangan satu benda sama panjangnya dengan benda itu sendiri; selain bayangan istiwa’, 3. waktu ashar: dimulai dari habisnya waktu dhuhur hingga terbenamnya matahari, 4. waktu maghrib: dimulai dari terbenamnya matahari hingga hilangnya a

Terjemah mabadi fiqih juz 3 (WUDHU')

WUDHU' Syarat-syaratnya wudhu itu ada 5, yaitu: 1. Orang yang melakukan wudhu’ itu adalah seorang islam, 2. Hendaknya ia seorang yang mumayyiz, 3. Jangan sampai ada lapisan penghalang yang mencegah sampainya air pada kulit, seperti: lapisan lilin, lemak, tahi mata dll, 4. Agar orang yang berwudhu itu jangan sampai menyangka apa yang difardhukan adalah sunnah, 5. Air yang suci. Fardhu-fardhunya wudhu itu ada 6, yaitu: 1. Niat, ketika pertama kali membasuh pertama dari wajah, 2. Membasuh muka, dari mulai tumbuhnya rambut (atasnya kening) sampai ujung dagu, dari telinga yang satu sampai ke telinga yang lain, 3. Membasuh kedua tangan sampai siku dan apa yang menutupi kuku yang panjang (ujung-ujung jari di bawah kuku), 4. Mengusap sebagian kepala, sekalipun tidak ada rambut yang tumbuh, dan tidak cukup dengan mengusap rambut yang panjangnya melebihi batas kepala, 5. Membasuh dua kaki sampai matakaki, juga wajib membasuh kedua tumit dan sela-sela kulit yang retak di bawah ked